Komisi IX Ajak Pemerintah Satu Kata Dalam Penyusunan RUU WASPOM

Ketua Komisi IX DPR RI Dede Yusuf Macan Effend, foto : azka/hr
Komisi IX DPR RI dan Pemerintah, yang meliputi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Kementerian Kesehatan, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Perindustrian melakukan pembahasan awal Rancangan Undang-Undang Pengawasan Obat dan Makanan (RUU WASPOM).
Ketua Komisi IX DPR RI Dede Yusuf Macan Effendi mengharapkan semua pemangku kepentingan dari pemerintah bisa tercapai satu kata kesepakatan tentang pembagian kewenangan dan tugas masing-masing dalam pengawasan obat dan makanan serta penindakan penyalahgunaan obat-obatan.
“Kami di DPR melakukan pendekatan agar undang-undang ini, jadi dalam waktu yang cepat dan pemerintah itu satu kata. Biasanya kalau pemerintahnya sudah dua kata tiga kata itu akan menyebabkan lambatnya produksi undang-undang,” ungkap Dede, di Ruang Rapat Komisi IX, Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (23/01/2018).
Menurut Dede, jika para pemangku kepentingan dari pemerintah bisa mencapai titik temu dalam pembagian tugas fungsi dan wewenang untuk RUU WASPOM, ditargetkan dalam jangka waktu satu tahun RUU dimaksud sudah selesai. “Menyatukan berbagai argumentasi terutama dari stakeholder pemerintah, sehingga menjadi satu kesepakatan bersama, mudah-mudahan dalam satu tahun ini bisa kita selesaikan,” harapnya.
Politisi F-Partai Demokrat itu menjelaskan masih terjadi perbedaan pendapat di antara pemerintah tentang kewenangan izin, siapa yang melakukan standarisasi, belum lagi ada undang-undang produk halal dan sebagainya. Hal itu jangan sampai ada benturan anatara satu dengan yang lainnya. Dia menyarankan agar semua pihak bisa kompromistis, melihat mana yang memberikan manfaat, mana yang mudarat dicari titik temunya.
“Fungsi pengawasan Kementerian Perdangangan melakukan pengawasan, Kementerian Kesehatan melakukan pengawasan. Ketika ini mau diambil semua dalam satu kewenangan pasti akan ada tumpang tindih. Harus siap kompromistis,” ujar Dede.
BPOM menjelaskan urgensi dari RUU ini, menurutnya yang menjadi pertimbangan adalah lemahnya perlindungan kepada masyarakat dari obat dan makanan yang beresiko terhadap kesehatan karena efektivitas pengawasan obat dan makanan yang rendah. Rekomendasi hasil pengawasan obat dan makanan yang ditindaklanjuti Kementerian dan Lembaga terkait hanya sekitar 20 persen. (eko/sf)